cinta

cinta

Jumat, 13 Januari 2012

Hukum Membaca Al-Qur’an secara Bersama-sama

MediaMuslim.Info – Alloh Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk. Namun demikian, saat ini banyak menusia yang meninggalkan kitab yang agung ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat tertentu saja, seperti: di antara mereka ada yang hanya membacanya pada saat bulan Ramadhanataupun yang hanya mengenalnya saat ada kematian, dan sejenisnya.
Kemudian telah berkembang pula perbuatan-perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Syariat Islam ketika membaca Al-Qur’an, di antaranya: membaca bersama-sama denga satu suara dalam masjid atau di rumah, menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an di atas kertas kemudian dimasukan ke dalam air untuk diminum, membaca Al-Qur’an di atas kuburan dll.
Pada dasarnya membaca Al-Qur’an haruslah dengan tatacara sebagaimana RasulullahShallAllohu ‘alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliauShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para sahabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.
Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa’ur Rasyidun setelahku” [1]
Sabda beliau lainnya, yang artinya: “Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak” [2]
Dalam riwayat lain disebutkan, yang artinya: “Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak” [3]
Diriwayatkan pula dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas’ud RadhiyAllohu ‘anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur’an. Ia berkata kepada beliau. “Wahai Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, apakah aku akan membacakan Al-Qur’an di hadapanmu sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu?” Beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam menjawab, yang artinya:“Saya senang mendengarkannya dari orang lain” [4]
BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR’AN BERSAMA-SAMA.Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan ‘waqaf’ dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa sallam maupun para shahabat beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka  kita berharap hal tersebut tidak apa-apa.
Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari’atkan, berdasarkan riwayat dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda, yang artinya: “Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Alloh (masjid) sambil membaca Al-Qur’an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Alloh akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Alloh menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya” [5]
MEMBAGI BACAAN AL-QUR’AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR
Membagi juz-juz Al-Qur’an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari Al-Qur’an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur’an bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur’an itu dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’aladan untuk menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya.[6]
Catatan Kaki:[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba’ul Khulafa’ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari hadits Al-Irbadh RadhiyAllohu anhu. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2676 dalam Al-Ilmu bab ‘Maa Jaa’al Fil Akhdzi bis Sunnati Wajtinabil Bida’, ia mengatakan: ‘Hadits ini hasan shahih. Al-Arna’uth berkata: ‘Sanadnya hasan. Lihat Syarhus Sunnah, 1/205 hadits no.102.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab ‘Idza Isththalahu ‘ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud’ dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab ‘Naqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur’ dari hadits Aisyah RadhiyAllohu ‘anha.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu’ dari hadits Aisyah RadhiyAllohu ‘anha.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur’an, bab ‘Barangsiapa mendengarkan Al-Qur’an dari orang selainnya’ dari hadits Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, ‘Rasululloh berkata kepada saya, bacakan Al-Qur’an untukku. Saya berkata, Wahai Rasululloh, apakah saya akan membacakannya sedangkan Al-Qur’an ini diturunkan kepadamu? Beliau menjawab, ‘Ya’ Maka sayapun membacakan surat An-Nisa hingga pada ayat, yang artinya: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”.(QS: An-Nisa: 41). Beliau berkata, “Cukup”. Saya menoleh kepada beliau, ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata.” [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 4394]
[5] Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do’a, bab ‘Fadhlul Ijtima ‘Ala Tilawatil Qur’an wa ‘Aladz Dzikir dari hadits Abu HurairahRadhiyAllohu ‘anhu.[Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302]
[6] Lihat Fatwa Lajnah Da’imah no. 3861
(Sumber Rujukan: Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an; Fatwa Lajnah Da’imah)

Keutamaan Bersiwak

MediaMuslim.Info – Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan mendapatkan keridhoan dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana sabda Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhoan bagi Rob”. (HR: Ahmad, irwaul golil no 66 [shohih]). (Syarhul mumti’ 1/120 dan taisir ‘alam 1/62)
Oleh karena itu Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda, yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
Dan yang artinya: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat”. (HR: Bukhori dan Muslim, irwaul golil no 70)
Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan sholat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Alloh, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan sholat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shon’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir, yang artinya: “Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam tergaanggu dengannya” (Taisir ‘alam 1/63)
Dan ternyata Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak hanya bersiwak ketika akan sholat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah… Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata, yang artinya: ”Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rosululloh jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. (HR: Muslim, irwaul golil no 72)
Atau ketika bangun malam…
Dari Hudzaifah ibnul Yaman, dia berkata, yang artinya: “Adalah Rosululloh jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. (HR: Bukhori)
Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas. Dalam hadits ini Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, fiqhul islami wa adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor (Syarhul mumti’ 1/125).
Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah. Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, yang artinya: “Aku mendatangi Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh- uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah“. (HR: Bukhori dan Muslim)
Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah, yang artinya: Dari ‘Aisyah berkata: Abdurrohman bin Abu Bakar As-Sidik y menemui Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersandar di dadaku. Abdurrohman y membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rosululloh, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rosululloh bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rosululloh selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :
فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى
Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata, yang artinya: “Aku melihat Rosululloh memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata: ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rosululloh mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju.“ (HR: Bukhori dan Muslim)

Oleh karena itu berkata sebagian ulama: “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rosululloh Shallallâhu ‘alaihi wasallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” (fiqhul islami wa adillatuhu 1/300)
(Sumber Rujukan: Syarhul Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin; Irwaul Golil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani; Taisirul ‘Alam jilid 1, Karya Syaikh Ali Bassam; Fiqhul Islami wa adillatuhu jilid 1, karya Doktor Wahbah Az-Zuhaili)